Minggu, 14 Oktober 2012

RAMIK RAGOM WAY KANAN


ARIF DAN SAKRAL


Way Kanan kini berkembang pesat terutama sejak ditetapkannya Way Kanan menjadi
Kabupaten definitif pada tanggal 27 April 1999. Tepat sekali jika semboyan Way
Kanan “Ramik Ragom” yang merupakan refleksi dari kehidupan sehari-hari di Way
Kanan yang beraneka-ragam suku, budaya, adat-istiadat dan juga agama.
Terdapat komunitas Bali di Banjit, komunitas Jawa hampir merata di seluruh
wilayah Way Kanan, komunitas Sunda di Lembasung, komunitas Semendo dan
Ogan di Kasui dan Rebangtangkas, serta kelompok-kelompok kecil suku pendatang
lainnya yang tersebar di seluruh wilayah Way Kanan.
Datangnya komunitas-komunitas tersebut tidak secara langsung namun melalui
beberapa tahapan dan proses yang unik. Datangnya komunitas Semendo berawal dari
keluarga-keluaga pendatang yang masuk dari wilayah Sumatera Selatan, berkumpul
dan berladang di Kasui, Banjit, Rebang Tangkas hingga Tanjung Kurung. Jumlah
mereka semakin banyak dan beragam akhirnya atas inisiatif tokoh-tokoh Penyimbang
Way Kanan mereka diterima dengan Arif, diberi jaminan keamanan dan wilayah
tempat tinggal yang subur meliputi Kasui, Tanjung Kurung ke atas. Perjanjian ini
dirayakan dalam sebuah upacara adat nan sakral dan ditulis di atas tanduk kerbau.
Perkembangan Kasui juga secara perlahan mendatangkan komunitas Bali Hindu di
Banjit melalui program transmigrasi. Komunitas Sunda (Jawa Barat) di Lembasung
masuk melalui jalur perdagangan, buruh-buruh angkut dan para pekerja di sektor
bongkar muat sengaja didatangkan sebagai tenaga murah dari Jawa Barat. Mereka
datang bersama keluarga, menetap dan berkembang pesat di utara Blambangan
Umpu. Komunitas ini makin bertambah besar dan atas inisiatif para penyimbang adat
Blambangan Umpu, Komunitas Sunda ini diberi wilayah sendiri. Sebuah kampung
kecil yang berada di tengah kampung besar Blambangan Umpu dan diberi nama
Lembasung. Pemberian ini dilakukan dengan upacara sederhana dan
diserahterimakan kepada sesepuh masyarakat Sunda pada waktu itu. Perkembangan
yang lebih besar tentu saja melalui program Transmigrasi, baik transmigrasi lokal
dizaman kolonial seperti desa-desa di Timur Blambangan Umpu maupun
Transmigrasi Swakarsa dizaman Orde Baru di wilayah Barat.
Masuknya beragam suku pendatang dan penerimaan masyarakat Way Kanan dengan
tangan terbuka serta pemberian wilayah khusus pada suku pendatang tanpa imbalan
namun senantiasa disertai upacara adat merupakan cermin bahwa sejak zaman dahulu
masyarakat Way Kanan berbudaya Arif dan Sakral.
NINIK PUYANG WAY KANAN
Sama halnya kedatangan para pendatang di Way Kanan yang melalui beberapa
tahapan, maka nenek moyang Way Kanan masuk melalui beberapa tahapan dan
kelompok. Dikisahkan sebuah keluarga dengan pimpinan yang disebut Tuan Purba
Matahari masuk ke Lampung. Keluarga ini berperahu selama bertahun-tahun, dari
lautan lalu menyusuri sungai besar ke arah hulu. Akhir perjalanan perahu itu kandas
di bebatuan hulu sungai.
Dalam perkembangannya keluarga ini bergerak ke Sekala Brak, Keluarga yang
kemudian bercucung pinak ini keturunannya pindah dan berpencar membangun
kampung dan peradaban. Beberapa keturunannya masuk ke wilayah Way Kanan
membentuk dua komunitas yang disebut Poyang Kuasa cikal bakal Buay Semenguk
dan Poyang Pandak Sakti cikal bakal Suku Pak Ngepuluh. Pada awalnya Poyang
kuasa masuk mengikuti sungai Umpu dan berkembang di Selatan Way Kanan.
Sementara perjalanan keturunan kelompok Poyang Pandak Sakti yang di pimpin oleh
Minak Ratu Putra menetap di Cingiue dan berkembang terus ke Rebah Canggung
dan selanjutnya tersebar hingga ke Tahmi. Di Tahmi mereka membangun komunitas
terdiri dari 40 rumah. Komunitas inilah yang kemudian menjadi Suku Pak Ngepuluh.
Poyang Kuasa dan Suku Pak Ngepuluh ini selanjutnya berkembang membentuk lima
kebuayan yang dikenal dengan Buay Lima Way Kanan. Buay Semenguk, Buay
Bahuga, Buay Baradatu, Buay Barasakti dan Buay Pemuka.
Penyebaran nenek poyang ini dahulu kala melalui jalur transportasi sungai besar,
yang terdiri dari; Way Umpu, Way Tangkas, Way Giham dan Way Besai. Maka tak
heran jika perkampungan dan rumah-rumah tua di Way Kanan berada di pinggir
sungai. Perpindahan ini sebagian besar disebabkan oleh bertambah besarnya
kolompok atau keluarga dan perluasan wilayah. Sebuah kelompok besar yang baru
dapat membentuk kampung baru baik di hulu atau di hilir sungai.
Perkembangan suku Pak Ngepuluh di Tahmi terjadi kurang lebih tahun 1118 M.
Dipimpin oleh Puyang Pandak Sakti, yang kemudian membentuk Buay Bahuga dan
Buay Pemuka.
Pada sekitar abad 14 Masehi, Keluarga Ratu Jimat keturunan Minak ratu putera
Tunggal dari suku Pak Ngepuluh tiba di Kampung Bujung dan membuka kampung
baru yang selanjutnya berkembang menjadi Kampung Blambangan Umpu ibukota
Kabupaten Way Kanan.
Sementara Kelompok Poyang Kuasa mengikuti jalur sungai Umpu dan Way Besai
membentuk Buay Semenguk, Buay Baradatu, Buay Barasakti. Beberapa situs
sejarah kuno yang diperkirakan berusia 800 tahun lalu ditemukan di Baradatu.
ISLAM MASUK WAY KANAN
Masuk dan berkembangnya agama Islam ke Way Kanan tidak diketahui kapan
persisnya. Dari beberapa penelusuran, Islam masuk ke Lampung pertama kali di bawa
oleh penyebar Islam dari Samudera Pasai Aceh, melalui Pagaruyung dan tiba di Bumi
Ruwa Jurai bermula di Sekala Brak. Keturunan empat paksi Sekala Brak yang
beragama Islam inilah maka agama Islam dibawa masuk ke Way Kanan. Jalur yang
ditempuh sama seperti datangnya nenek moyang Way Kanan ke wilayah ini jauh
dahulu kala. Pedagang dari Arab yang berdagang di Segara Mider dan Mesir juga ikut
menyebarkan agama Islam. Namun sejatinya Islam benar-benar menundukkan
wilayah Way Kanan di era masuknya pengaruh Kesultanan Banten melalui Minak
Mangkurat dari Negeri Besar atau dikenal juga dengan Adipati Amangkurat.
Penyebaran Agama Islam akhirnya makin pesat melalui seni budaya warahan yang
mengisahkan Radin Jambat. Sama halnya dengan tokoh Punakawan atau tembang
jawa yang digunakan Walisongo untuk menyebarkan agama Islam, Radin Jambat
tokoh sufi yang sakti dan setengah mitos ini turut menyebarkan Islam dan lewat
budaya khas Way Kanan warahan-aruhan suatu bentuk sastra tutur lampung klasik,
kisah-kisah kuno dan juga pantun Lampung (pisaan).
Dalam warahan – aruhan Sosok Radin Jambat misalnya, digambarkan sebagai pribadi
religius yang telah mencapai makrifat tingkat ke sembilan, suatu tahapan tertinggi
dalam tarekat. Namun demikian Radin Jambat tidak menafikan duniawi seperti
umumnya kaum sufi, melainkan aktif di dunia nyata seperti para Wali.

1 komentar:

  1. Way Kanan merupakan salah satu tempat yang eksotis, penuh sejarah dan berbudaya tinggi,
    patut dikkunjungi oleh para wisatawan , dan kita harus selalu menjaga daerah ini agar tetap hijau dan subur

    BalasHapus